Selasa, Oktober 17

4 Pilar Pendidikan UNESCO

UNESCO selaku badan PBB yang mengurus masalah pendidikan dan kebudayaan mencetuskan 4 pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live togather.

Learning to know (Belajar mengetahui)
Dalam pilar ini, belajar dimaknai sebagai upaya hanya sebatas untuk mengetahui. Belajar ini termasuk dalam kategori belajar pada tingkat yang rendah, yakni belajar yang lebih menekankan pada ranah kognitif. Learning to know mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar. Dengan proses belajar, siswa bukan hanya sadar akan apa yang harus dipelajari, akan tetapi juga memiliki kesadaran dan kemampuan bagaimana cara mempelajari yang harus dipelajari.
Learning to know memiliki pengertian bahwa ketika kita belajar kita akan menjadi tahu. Selain itu juga menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai informator, organisator, motivator, director, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator bagi siswanya, sehingga peserta didik perlu dimotivasi agar timbul kebutuhan terhadap informasi, keterampilan hidup, dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya.
Learning to know dilakukan dengan cara memadukan penguasaan terhadap suatu pengetahuan umum yang cukup luas dengan kesempatan untuk bekerja secara mendalam pada sejumlah kecil mata pelajaran. Dan learning to know ini mengandung prinsip berikut: 1) diarahkan untuk mampu mengembangkan ilmu dan terobosan teknologi dan merespon sumber informasi baru; 2) Memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran; 3) network society; dan 4) learning to learn dan life long education.

Learning to do (Belajar berkarya)
Learning to do maksudnya setelah kita mengetahui hal-hal yang baru dari pembelajaran yang kita lakukan, kita bisa melakukan sesuatu karya atau bentuk pekerjaan nyata dari ilmu yang telah diserap. Learning to do mengupayakan pemberdayaan peserta didik agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya sehingga mampu menyesuaikan diri dan berpartisipasi dalam masyarakat. Pembelajaran ini menyiratkan bahwa siswa dilatih untuk sadar dan mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi konkrit yang tidak hanya terbatas pada penguasaan ketrampilan yang mekanitis melainkan juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua ini, dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang cerdas dalam bekerja dan mempunyai kemampuan untuk berinovasi. Terkait dengan hal tersebut maka proses belajar-mengajar perlu didesain secara aplikatif agar keterlibatan peserta didik, baik fisik, mental dan emosionalnya dapat terakomodasi sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.
Contoh : Ketika kita bisa mengetahui bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan administrasi akan lebih menghabiskan banyak kertas dan pencarian datanya lama, maka kita bisa berkarya untuk menciptakan sistem informasi untuk mengelola data-data administrasi tersebut.

Learning to be (Belajar menjadi diri sendiri dan mengembangkan diri)
Learning to be mengandung pengertian bahwa belajar adalah membentuk manusia yang menjadi dirinya sendiri. Dengan kata lain, belajar untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia. Belajar dalam konteks ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi peserta didik, sesuai dengan minat dan bakatnya atau tipe-tipe kecerdasannya (types of intelligence). Konsep learning to be, perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar mampu memiliki rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Dalam hubungan ini, pendidikan harus berhubungan dengan setiap aspek dari potensi pribadi yang berupa: mengingat, menalar, rasa estetis, kemampuan-kemampuan fisik, dan keterampilan-keterampilan berkomunikasi. Aspek-aspek learning to know dan learning to do mendukung usaha siswa meningkatkan kecerdasan dan mengembangkan keterampilan intelektual dirinya secara berkelanjutan.

Learning to live together (Belajar hidup bersama)
Pilar keempat ini memaknai belajar sebagai upaya agar peserta didik dapat hidup bersama dengan sesamanya secara damai untuk dapat bekerja sama. Dikaitkan dengan tipe-tipe kecerdasan, maka pilar keempat ini berupaya untuk menjadikan peserta didik memiliki kecerdasan sosial (social intelligence). Learning to live together maksudnya dengan kita mengetahui dan kita dapat melakukan sesuatu dari apa yang kita pelajari, selanjutnya kita dapat melakukannya untuk diri kita sendiri dan juga untuk orang lain yang ada di sekitar kita. Pembelajaran ini bertalian erat dengan pemberantasan sikap egoisme yang mengarah pada chauvinisme pada peserta didik sehingga melunturkan rasa kebersamaan dan harga-menghargai. Memahami, menghormati dan bekerja dengan orang lain, mengakui ketergantungan, hak dan tanggungjawab timbal balik yang melibatkan partisipasi aktif warga, tujuan bersama menuju kerekatan sosial, perdamaian dan semangat kerjasama demi kebaikan bersama. Sebab, dewasa ini sudah mulai banyak tertanam sikap-sikap egoisme pada diri tiap individu-individu.
Salah satu fungsi sekolah adalah tempat bersosialisasi, artinya mempersiapkan siswa untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan di lingkungan sekolah. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan terjadinya “learning to live together”. Learning to live together yaitu proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati hubungan antar manusia secara intensif dan terus menerus untuk menghindarkan pertentangan ras/etnis, agama, suku, keyakinan politik, dan kepentingan ekonomi. Peningkatan pendidikan nilai kemanusiaan, moral, dan agama yang melandasi hubungan antar manusia.

Makna Keterampilan How To Think, How To Learn, dan How To Create dalam Pendidikan

Pendidikan kejuruan hadir sebagai wahana dalam upaya memfasilitasi berkembangnya kemampuan siswa dalam melakukan sinergi secara komperhensif dan produktif antara keterampilan how to think, how to learn, dan how to create untuk dapat berperan sebagai pencipta lapangan kerja (job creator) yang professional, pencari kerja (job seeker) yang kompetitif atau sebagai individu atau kelompok yang memiliki daya enduransi yang tinggi dalam berkompetisi (high degree pursuer) (Mukhadis, 2013:7-8).

Makna Keterampilan how to think, how to learn, dan how to create
1)        How to think
How to think merupakan keterampilan berpikir dalam melihat sebuah permasalahan dari berbagai sudut pandang. Keterampilan ini merupakan prasyarat bagi terbentuknya keunggulan kemampuan dalam mengidentifikasi, menganalisis, memahami dan menetapkan skala prioritas alternatif pemecahan masalah yang dihadapi secara efektif dan efisien (Mukhadis, 2009:226). How to think dapat dikerucutkan menjadi 3 pendekatan kemampuan berpikir yaitu kemampuan berpikir kritis (analitik)sintetik (kreatif) dan praktikal.
Berpikir kritis memiliki representasi sebagai keterampilan analisis dan evaluasi ide (Naqiyah, 2005). Keterampilan ini lebih berorientasi pada kemampuan menganalisis dan berpikir kritis terhadap suatu fenomena (masalah). Kemampuan berpikir sintetik merupakan kemampuan membangkitkan ide baru dan menarik, lebih berperan dalam penemuan terhadap alternatif pemecahan masalah yang belum dikenal sebelumnya (berpikir kreatif). Sedangkan kemampuan berpikir praktikal merupakan kemampuan menerjemahkan teori ke dalam praktek, dan merubah ide-ide abstrak ke arah kecakapan praktikal. Kemampuan praktikal juga mempunyai arti sebagai kemampuan melaksanakan alternatif pemecahan masalah yang telah ditemukan, dinilai khalayak, diberi masukan, dan bagaimana kita menyikapi terhadap masukan.

2)        How to Learn
Pendidikan kejuruan berfungsi sebagai wahana dalam upaya memfasilitasi berkembangnya proses belajar dan berbuat (learning by doing) dengan mengacu pada ritme dialektika sesuai bidang kejuruan yang ditekuni. Keterampilan dalam belajar (how to learn) menjadi sangat penting sebagai langkah dalam mencari, memanfaatkan dan mengembangkan informasi yang unggul.
Keterampilan tersebut ini direpresentasikan dalam kemampuan melakukan aktivitas learningunlearning, dan relearning (Harefa, 2010) yang berlangsung sepanjang waktu dimana berada dan bekerja. Karena itu, belajar (learning) akan mengajari seseorang untuk tidak pernah berhenti berpikir. Namun karena dialektika otak dan hati selalu terjadi, secara psikologis adakalanya manusia merasa puas dan merasa sudah menjadi seperti yang mereka harapkan. Pada posisi dan situasi itulah terjadi yang disebut sebagai unlearning.
Ketika otak merasa puas dan berhenti berpikir, manusia bisa saja terperosok ke dalam sebuah dunia lain sehingga dia bertindak tanpa memikirkan risiko dan akibat yang akan ditimbulkannya. Perilaku menyimpang merupakan gambaran bahwa manusia bisa mengalami fase unlearning. Secara ekstrem, gambaran perilaku menyimpang seperti teroris dan koruptor merupakan beberapa contoh bahwa manusia bisa terjebak ke dalam perilaku unlearning (Baedowi, 2012).
Namun jika hati seseorang dapat menuntun lagi kerja otak untuk mulai berpikir dan belajar kembali, fase semacam itu disebut relearning. Untuk kembali belajar (relearning), seseorang tidak hanya membutuhkan tuntunan hatinya, tetapi juga dukungan lingkungannya. Itulah sebabnya untuk kasus-kasus tertentu seperti para bekas teroris, diperlukan sebuah proses belajar kembali dengan cara memberi mereka dukungan untuk kembali kepada habitat dan masyarakat.
Dalam konteks belajar-mengajar, proses relearning juga sejalan dengan prinsip re-education, sebuah basis filosofis untuk bekerja dengan orang-orang yang mengalami gangguan, baik secara emosi maupun perilaku (a philosophical basis for working with person who has emotional and/or behavioral disorders). Dalam proses re-edukasi, mengembalikan mentalitas lama ke dalam pembentukan mentalitas baru yang sesuai dengan kondisi normal lingkungan masyarakatnya ialah imperatif  (Baedowi, 2012)..
Keterampilan belajar bukan keterampilan tunggal tetapi merupakan garis kontinum yang bermula dari titik awal kehidupan dan berakhir pada akhir hidup itu sendiri. Learning to learn (how to learn) tumbuh dari sinergi antara intelektual dan moral yang berekspresi dari hasil belajar otentik (actual outcomes). Anwar mengatakan bahwa belajar untuk tahu (learning to know) menjadi basis bagi belajar untuk dapat melakukan (learning to do); belajar untuk dapat melakukan merupakan basis bagi belajar untuk mandiri (learning to survive); belajar untuk mandiri merupakan basis bagi belajar untuk bekerja sama (learning to cooperate) (2006:5).
Tujuan akhir dari keterampilan belajar ialah dimilikinya kemampuan memecahkan masalah secara bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan akhir keterampilan belajar, maka lebih dahulu melalui dua tujuan yaitu: (1) mampu mengenali hakikat diri, potensi dan bakat-bakatnya dan (2) dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasi segenap potensi, mengekspresikan dan menyatakan dirinya seutuhnya denga cara menjadi dirinya sendiri (Anwar, 2006:9).

3)        How to Create
Pendidikan kejuruan merupakan wahana dalam upaya memfasilitasi proses kreasi pencapaian sesuatu yang menghasilkan suatu barang, jasa, model atau prototipe yang bernilai tambah (added value) secara ekonomi, bukan sekedar hanya berperan sebagai konsumen atau sekedar sebagai user dari suatu produk yang lain dalam bidang yang relevan (Mukhadis, 2013:7). Untuk dapat memberikan nilai tambah tersebut, pendidikan harus mampu memfasilitasi sinergisitas keterampilan siswa (how to think dan how to learn) sebagai pendorong tumbuh-kembangnya kemampuan untuk berkreasi atau mencipta (how to create) baik secara individu, kelembagaan maupun industri bukan malah tertarik pada budaya mengkonsumsi.
Peradaban teknologi yang unggul suatu bangsa merupakan representasi dari kemampuan emulasi, dan bukannya sekedar kemampuan emitasi. Kemampuan emulasi merupakan prasyarat suatu individu, kelompok, masyarakat, bangsa atau negara untuk melakukan loncatan dalam pengembangan teknologi sebagai sarana pemecahan masalah dalam kehidupan. Wujud dari kemampuan ini adalah keunggulan dalam melakukan sinergi dari berbagai produk teknologi, berbagai informasi, berbagai jasa, dan berbagai sistem yang mutakhir, menjadi suatu sosok produk, sosok informasi, sosok sistem, dan dan sosok jasa yang lebih baru, memiliki nilai tambah dan memiliki keunggulan kompetitif.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More